Jika muncul
pertanyaan tentang bagaimana keadaan hukum di Indonesiapada saat ini, pasti
pikiran kita sudah bisa menerawang dan membayangkan bagaimana keadaannya.
Sebelum kita membahas lebih jauh tentang bagaimana keadaan hukum yang ada di
Negara kita ini, ada baiknya kita mengetahui terlebih dahulu apa itu hukum dan
unsur – unsur yang terkandung, agar kita tidak salah menilai tentang keadaan
hukum yang ada di Indonesia.
Hukum
menurut J.T.C. Sumorangkir, S.H. dan Woerjo
Sastropranoto, S.H. ialah peraturan-peraturan yang bersifat memaksa, yang
menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat, yang dibuat oleh
badan-badan resmi yang berwajib, pelanggaran mana terhadap peraturan-peraturan
tadi berakibat diambilnya tindakan, yaitu dengan hukuman. Sumber hukum yang ada di Indonesia sudah
sangat jelas dikatakan dalam Pasal 2 Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan menyatakan ‘Pancasila merupakan sumber dari segala
sumber hukum negara. Namun pada kenyataannya banyak sekali ketidakadilan
yang terjadi dalam penegakkan hukum di Indonesia. Dari banyak kasus yang
terjadi, keterpihakkan penegakkan hukum di Indonesia banyak diskriminasi hukum,
contohnya dalam kasus yang tingkat perkaranya besar yang dilakukan oleh pejabat
– pejabat Negara, biasanya dikenakan tingkat hukuman yang reltif ringan,
dibangingkan masalah hukum yang dilakukan oleh rakyat biasa yang tingkat
perkaranya mungkin bisa dibilang ringan, tetapi dikenakan hukuman yang lumayan
berat.
Persamaan kedudukan warga Negara Indonesia sudah
dijelaskan secara rinci dalam UUD 1945 Bb X sampai Bab XIV pasal 27 sampai
pasal 34. Dalam Pasal 27 ayat 1 menyatakan bahwa “segala warga Negara bersamaan
kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahaan dan wajib menjunjung hukum dan
pemerintahan itu dengan tidak
ada kecualinya. Seharusnya hukum
di Indonesia amat sangat memperhatikan kata-kata yang terkandung dalam pasal
tersebut. Belakangan ini banyak kasus – kasus hukum yang semakin mencerminkan
bahwa “mahalnya keadilan di Negeri ini” bermunculan.
Tahun lalu kita masih ingat mengenai kasus pencurian
6 piring dan 1 kilogram buntut sapi yang dilakukan oleh Rasminah, ibu tua
berusia 56 tahun yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga di rumah
majikannya, Siti Aisyah MR Soekarno Putri, di Ciputat,
Tangerang Selatan. Putusan MA yang menyebutkan bahwa Rasminah terbukti secara
sah dan meyakinkan melanggar Pasal 362 KUHP tentang pencurian. Vonis ini membatalkan
putusan Pengadilan Negeri Tangerang 1364/Pid.B/2010/PN.TNG, Desember 2010, yang
memvonis Rasminah tak bersalah.
Hal tersebut
membuat keluarga Rasminah sangat kaget karena kasus yang dianggapnya sudah
selesai karena sudah bebas sejak setahun lalu, kini perkaranya diangkat
kembali. Tetapi Rasminah tidak perlu menjalani hari – hari kelamnya di balik
terali besi, karena hukuman badan yang dijatuhkan MA telah sama dengan masa
tahanan yang telah dijalaninya.
Penegakkan hukum di Indonesia masih sangat buruk, seharusnya perkara
ringan seperti ini tidak perlu terlalu dipikirkan, karena MA mengeluarkan kebijakan pencurian ringan
sesuai Pasal 364 KUHP dengan nilai kerugian di bawah Rp 2,5 juta tidak perlu
ditahan. Tetapi apa yang terjadi, pencurian yang dilakukan Rasminah tidak
mengacu pada pasal tersebut.
Penegak hukum di Indonesia terlalu sibuk menangani perkara –
perkara ringan yang dilakukan oleh rakyat kecil, dibandingkan menangani perkara
– perkara berat yang dilakukan oleh orang – orang yang berpengaruh di Negeri
ini. Sehingga hal tersebut membuat perkara besar tersebut terbengkalai, padahal
kerugian negara yang disebabkan oleh perkara – perkara tersebut sangat besar,
seperti kasus Bank Century yang merugikan negara sebesar Rp6,7
tiliun yang terkesan mengulur – ngulur
waktu dalam penyelidikan, tidak ada yang
bertanggung jawab, sedangkan kasus Nenek
Rasminah yang mencuri piring divonis bersalah.
Seharusnya
sebagai Negara hukum, semua pihak, baik pejabat maupun rakyat kecil sama di
hadapan hukum. Kasus ini membuat anggota Tim Pengawas Century DPR, Akbar Faisal
angkat bicara "Katanya hukum harus sama menempatkan semua orang. Artinya
dengan kasus ini tertangkap kesan jika Anda mau selamat, Anda harus punya
kuasa. Kalau tak mau terjebak kasus hukum, jadilah pejabat Negara.”
Diskriminasi penegak hukum yang ada di Indonesia begitu berasa karena, terkesan
bahwa penegak hukum tidak berani mengambil tindakan jika yang melanggar hukum
adalah orang – orang yang mempunyai pengaruh di Negara ini.
Sebenarnya ada beberapa perkara yang sudah
diatur dalam Pasal KUHP yang tidak boleh ditahan, seperti :
Pasal 373 KUHP tentang Penggelapan yang nilai kerugiannya
kurang dari Rp 600 ribu tidak perlu ditahan, hukuman maksimal 3 bulan.
Pasal 379 KUHP tentang perbuatan curang yang nilai kerugiannya kurang dari Rp 600 ribu tidak perlu ditahan, hukuman maksimal 3 bulan.
Pasal 384 KUHP tentang pedagang yang berlaku curang yang nilai kerugiannya kurang dari Rp 2,5 juta tidak perlu ditahan, hukuman maksimal 3 bulan.
Pasal 407 KUHP tentang pengrusakan barang yang nilai kerugiannya kurang dari Rp 600 ribu tidak perlu ditahan, hukuman maksimal 3 bulan.
Pasal 482 KUHP tentang penadahan yang nilai kerugiannya kurang dari Rp 600 ribu tidak perlu ditahan, hukuman maksimal 3 bulan.
Pasal 379 KUHP tentang perbuatan curang yang nilai kerugiannya kurang dari Rp 600 ribu tidak perlu ditahan, hukuman maksimal 3 bulan.
Pasal 384 KUHP tentang pedagang yang berlaku curang yang nilai kerugiannya kurang dari Rp 2,5 juta tidak perlu ditahan, hukuman maksimal 3 bulan.
Pasal 407 KUHP tentang pengrusakan barang yang nilai kerugiannya kurang dari Rp 600 ribu tidak perlu ditahan, hukuman maksimal 3 bulan.
Pasal 482 KUHP tentang penadahan yang nilai kerugiannya kurang dari Rp 600 ribu tidak perlu ditahan, hukuman maksimal 3 bulan.
Peraturan sudah ada, tinggal bagaimana
para pelaksana penegakkan hukum-nya saja yang harus diperbaiki, dan juga harus
mempertimbangkan bukan hanya materi perkara, tetapi juga harus menggunakan hati
nuraninya dalam pengambilan keputusan.
Referensi :
http://news.detik.com/read/2012/11/21/122328/2096862/10/kasus-rapikan-pohon-bambu-dipenjara-jaksa-cuekin-peraturan-ma