Perekonomian Indonesia Pada Masa Orde Baru

Masa Orde Baru yang terjadi sekitar 14 tahun yang lalu masih teringat dalam ingatan kita,  dimana keadaan Negara Indonesia sedang kacau, pada saat Indonesia menghadapi krisis keuangan. Banyak perusahaan yang gulung tikar, PHK terjadi secara besar-besaran, demonstrasi di mana-mana, dan hal-hal buruk lain yang terjadi di Indonesia.

Krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia pada tahun 1998 merupakan efek dari krisis yang terjadi di Asia. Krisis tersebut disebabkan oleh tiga hal utama, yakni fundamental, market panic dan vulnerabilities, yang akhirnya menghantam Indonesia sampai pada titik nadir, yakni membuat terjadinya perubahan kepemimpinan. Krisis di Indonesia menjadi sangat buruk karena faktor-faktor lain yang memperburuk situasi, seperti misgovernment, corruption, political transition, insecurity of the ethnic chinese, the fall of oil price, suffered from drought, dan the break down in public order and communal effect. Situasi perekonomian Indonesia waktu itu lebih buruk lagi, yang ditandai oleh lack of demand, drastic decline in private investment, public investment expenditures were reduced significantly, drastic fall in output, dan drastic fall in real income. Sementara itu budget deficit pada tahun 1998 mencapai 8,5 % dari GDP. 

Pada tahun 1999, proses recovery atas kondisi krisis disandarkan pada 4 (empat) langkah kebijakan, yakni the restoration of private demands, the restoration of confidence, the efficient cleaning up of the banking system, and the corporate debt resolution. Berbagai macam perbaikan pada semua sektor mulai dilakukan, sehingga menyebabkan situasi yang ada pada tahun-tahun setelah masa Orde Baru. 

Berbagai macam capaian dan kemajuan dalam perekonomian, situasi tersebut antara lain, pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam jalur di atas 6 %, size perekonomian meningkat lebih dari dua kali yang diiringi dengan pendapatan per kapita, sumber pertumbuhan makin bertumpu pada sumber dalam negeri, risiko ekonomi makro makin menurun, perbankan yang jauh lebih sehat, dan persiapan menghadapi krisis yang lebih baik.  

Dengan tetap berpikir positif dan rasional, situasi krisis justru akan dapat dihadapi dengan elegan. Berikut ini adalah Direktif-direktif Presiden, yakni :

Direktif Pertama
Tetap optimis, bersatu dan bersinergi untuk memelihara momentum pertumbuhan serta mengelola dan mengatasi dampak krisis keuangan Amerika Serikat. Dengan sikap seperti itu, diharapkan kepercayaan masyarakat tetap terjaga.
  
Direktif  Kedua
Pertahankan pertumbuhan ekonomi sebesar 6%, dengan menjaga pembelanjaan pemerintah, investasi, ekspor dan impor. Krisis tahun 1998 memberikan pelajaran mengenai pentingnya sabuk pengaman perekonomian, salah satunya dengan memanfaatkan perekonomian domestik.

Direktif Ketiga
Alokasi untuk pembangunan infrastruktur dan stimulasi pertumbuhan lainnya harus cukup (growth and employment), serta yang lebih penting juga adalah alokasi untuk penanggulangan kemiskinan (social safety net) harus tetap tercukupi. Melalui program 3 kluster, yakni: kluster pertama, Jaminan Sosial melalui Bantuan Langsung Tunai, Beras untuk Rakyat Miskin (Raskin), Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan Program Keluarga Harapan (PKH); kluster kedua, Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (Mandiri); serta kluster ketiga, Kredit Usaha Rakyat – pemerintah berupaya sekuat tenaga untuk tetap memenuhi hak-hak kaum miskin. Defisit anggaran juga harus tepat dan rasional, sehingga tetap dapat dibiayai dalam situasi keuangan global saat ini dan tidak mengganggu pencapaian “sasaran kembar” yakni pertumbuhan dengan pemerataan (growth with equity). Selain itu efisiensi dan pembatasan pada pembelanjaan yang konsumtif dan yang dapat ditunda harus tetap dilakukan. 

Direktif  Keempat
Dunia usaha (sektor riil) harus tetap bergerak, meskipun ekspansi bisa berkurang. Dengan demikian pajak dan penerimaan negara tetap terjaga serta pengangguran tidak bertambah. Kondisi ini menuntut BI (dengan jajaran perbankan) untuk dapat menjamin kredit dan likuiditas. Pemerintah dalam hal ini telah mengeluarkan kebijakan regulasi, iklim dan insentif agar sektor riil tetap bergerak. Sementara itu kalangan swasta memiliki kewajiban untuk lebih resilient dan terus mempertahankan kinerja, tetap mencari peluang, dan share the hardship.

Direktif Kelima

Cerdas menangkap peluang (opportunity) untuk melakukan perdagangan dan kerjasama ekonomi lainnya dengan dunia. Peluang yang ada itu antara lain, ekonomi Asia -terutama RRC- diperkirakan dalam kondisi yang stabil. Kesempatan pertemuan puncak ASEM di Beijing harus ditangkap dengan baik. Kondisi lainnya juga harus dicermati, seperti diperkirakannya pasar di Amerika dan Eropa akan lebih tertutup/melemah, sehingga akan mempengaruhi ekspor Indonesia. Bagi Indonesia, tantangan seperti itu harus dijawab dengan menghasilkan produk-produk yang lebih kompetitif.

Direktif Keenam

Kampanye besar-besaran untuk mengkonsumsi produk-produk dalam negeri. Agar nett ekspor-impor positif dan agar neraca pembayaran (BOP) tidak terancam defisit. Apalagi Visi 2005 telah menetapkan pasar domestik menjadi semakin kuat dan tumbuh. Menteri terkait perlu memberikan insentif/disinsentif agar semua kalangan benar-benar lebih mengkonsumsi produk dalam negeri. Instruksi kepada jajaran pemerintah (melalui Inpres) agar dalam procurement mengutamakan produk industri nasional (dengan menghentikan budaya fee yang tidak masuk akal). Mencegah dumping barang luar negeri yakni barang-barang yang tidak tembus ke pasar Amerika Serikat, yang belok ke pasar ”emerging markets”.

Direktif  Ketujuh
Perkokoh sinergi dan kemitraan (partnership) diantara Pemerintah, Bank Indonesia, dan Swasta/Dunia Usaha. Upaya ini dilakukan dengan mencegah dan menghilangkan mistrust dan prejudice dengan motto ”semua berperan semua penting”. Swasta/Bisnis berperan dalam pajak dan lapangan kerja, sehingga berdampak pada penerimaan (revenue) untuk membiayai pembangunan, sementara BI dan perbankan dengan menggunakan kebijakan moneter untuk mendanai sektor riil dan mengelola inflasi. Jika ada masalah kiranya dapat dipecahkan dengan baik, mencegah tindakan unilateral sepanjang bukan merupakan tindakan yang melanggar hukum. Pengalaman krisis 1998 yang menjadi pelajaran penting agar tidak terulang lagi adalah tidak adanya saling kepercayaan, tidak ada kebersamaan, sikap mental buruk yakni ”perusahaan boleh bangkrut, tetapi saya pribadi harus tetap jaya” atau ”sambil ngurusi, cari rejeki (alias korupsi)”

Direktif  Kedelapan

Hentikan dan ubah sikap ego sektoral dan business as usual. Saat ini bukan saatnya lagi untuk berlarut-larut dalam konflik diantara lembaga pemerintah, lembaga negara atau antara pemerintah dan swasta. Dengan situasi perekonomian yang berat dan kondisi rakyat yang semakin susah dalam menghadapi hidup, konflik seperti itu memalukan, menghambat momentum dan merusak kepercayaan. Betapapun penting dan kuatnya sebuah institusi tidak akan pernah bisa bekerja sendiri.

Direktif  Kesembilan
Memasuki tahun politik (2008-2009) yang perlu ditonjolkan adalah politik non partisan (untuk kepentingan rakyat), dengan menomor-duakan kepentingan kelompok. Dengan tahun politik tersebut, Pemerintah, Bank Indonesia, DPR, DPD, kalangan Bisinis, dan pelaku lainnya diharapkan sungguh-sungguh dapat berperan positif dan konstruktif.

Direktif  Kesepuluh
Perlunya komunikasi yang tepat dan bijak kepada rakyat. Bersikap jujur dengan tidak memberi angin surga, namun tetap positif dan optimis sehingga tidak menimbulkan kepanikan. Mencegah statement yang bukan kewenangannya, maupun yang tidak perlu.
Sumber : 
http://www.setneg.go.id/index.php?Itemid=29&id=2890&option=com_content&task=view 
 
  

0 komentar:

Posting Komentar