Dinasti Qing Part 1

Dinasti Qing merupakan Dinasti yang didirkan oleh bangsa Manchu yang merupakan Dinasti asing di China [1]. Bangsa Manchu yang dikelompokan sebagai bangsa Barbar mengikuti jejak bangsa Mongolia untuk menguasai China melalui pasukan militernya yang disebut pasukan Panji. Bangsa Manchu berhasil memasuki wilayah China dan Pada akhirnya Dinasti  Qing dianggap sebagai Dinasti terakhir China yang memerintah cukup lama, yaitu dari tahun 1644-1912 M. Dinasti Manchu pada akhirnya dihadapkan pada persoalan menghadapi imperialisme Barat yang pada waktu mereka ingin menjual hasil produksi mereka ke Eropa.
Latar belakang terbentuknya Dinasti Qing
Ketika Dinasti Chin yang masih keturunan bangsa Yurchen berhasil dihancurkan oleh bangsa Mongolia pada 1234, sisa-sisa dari bangsa itu menyingkir hingga mendekati Sungai Amur (Hellu-Kiang) [2]. Sampai pada pertengahan abad ke-15, mereka menyusun kekuatan dan kemudian bertambah kuat mereka kemudian memindahkan initi kekuatannya lebih dekat kearah selatan sebelah timur laut Mukden.  Untuk menghindari ancaman serangan dari suku-suku bangsa nomad diwilayah manchuria dan perbatasan lainnya oleh dinasti Ming disusun suatu pemerintahan yang berbentuk organisasi Wei yang merupakan pemerintahan sipil yang dipersenjatai dan dibekali oraganisasi militer. Penduduknya dibebaskan dari pajak, mereka juga dilatih militer dan dimasukan dalam satuan-satuan militer sehingga para petani pun menjadi prajurit. Orang-orang Yurchen yang menetap diperbatasan daerah pertanian orang China yang terletak antara sungan Liao dan Yalu ikut bergabung dalam organisasi Wei.
Dengan daerah-daerah pertanian, penduduk dari China melakukan hubungan perdagangan barter, hubungan dagang tersebut memperluas cakupan wilayah hingga ke Peking, setiap tahun kepela suku Yurchen membawa persembahan upeti ke Peking, ia juga diperbolehkan menukarkan sejumlah barang dagangannya di kota tersebut.
Pemimpin bangsa Yurchen pada saat itu (1529-1626) adalah Nurachi, merupakan seorang pemimpin yang gagah berani dan cakap dalam strategi perang serta sebagai orang yanga mempunyai pengetahuan yang sangat luas tentang hubungan politik dengan kerajaan-kerajaan yang pernah berkuasa di China [3].
Pada masa Kaisar Wan Li (1573-1619) China mengalami ancaman serangan yang sangat berbahaya dari kekaisaran yang berkuasa di Jepang yaitu Tojotomi Hideyosi (1582-1598). Ia dua kali mengirimkan pejuang samurainya untuk menyerbu China melalui Korea pada tahun 1592 dan 1597 namun kedua serangan tersebut mengalami kegagalan. Setelah itu, China dihadapkan pada serangan Nurhachi. Pada 1618 ia berusaha menyerang satuan-satuan organisasi Wei China dan pada akhirnya pada tahun 1621 Nurhachi berhasil merebut kota Shen Yang (Mukden) dan Liaotung, kemudian pada tahun 1625 ibukotanya dipindahkan kekota Mukden [4] .
Setelah berhasil menaklukan kota shen Yang dan Liaotung, Nurhachi mulai menaklukan suku-suku Mongolia Timur. Pada tahun 1626 dalam sebuah pertempuran dengan pasukan China, Nurhachi terluka parah dan akhirnya meninggal. Kebijakan politiknya dilanjutkan oleh anaknya yang bernama Abahai (1626-1643). Pada tahun 1635 semua suku Mongolia Timur  telah mengakui kekuasaannya, dan sejak saat itu nama bangsa Mancho atau Manchu mulai dipergunakan dan disosialisasikan keseluruh wilayah China. Ada yang berpendapat bahwa istilah “Manchu” berasal dari bahasa Yuschen yang berarti pemerintahan sebagaian lain ada yang berpendapat bahwa “manchu” berarti nenek moyang Nurhachi. Menurut sumber lain, nama itu diberikan oleh para pendeta Lamaisme di Mongolia sebagai gelar kehormatan yang berasal dari ungkapan bahasa Tibet yang artinya “cahaya terang dari timur” [5].  Seiring dengan berjlannya waktu semakin maju pula peradaban manchu, mereka banyak memahami sistem peradaban dan kebudayaan China. Mereka juga banyak belajar dari bangasa Mongolia Timur. Mereka mengembangkan organisasi militer yang mereka miliki dahulu dengan sebutan organisasi Vandel atau organisasi Panji-panji. Dengan pengembangan organisasi militer itu dapat ia jadikan sebagai alat untuk perluasan wilayah kekuasaan.
            Pada masa akhir kekuasaan Dinasti Ming terjadilah dua peristiwa yang sangat penting. Pertama, di China sedang terjadi pemberontakan petani yang dipimpin oleh LI Tzu Cheng. Pada 1644 Ia menyerang kota Peking dan berhasil menaklukannya. Pada saat bersamaan, bangsa Manchu bersiap-siap menyerang kota China. Seharusnya penyerangan ke kota China ini dilancarkan pada tahun 1643 namun pada saat itu Abahai meninggal sedangkan anaknya yang seharusnya menggantikan posisi dia sebagai pemimpin manchu masih berusia 11 tahun, sehingga pemerintahan dijalankan dengan kosep perwalian. Ketika kota Peking berada dalam kekuasaan Li Tzu Cheng kesempatan dan peluang muncul bagi bangsa Manchu untuk kembali menyerang China. Karena pada saat itu Kaisar Dinasti Ming yang terakhir  yang bernama Tsung Cheng (1627-1644) tewas gantung diri pada tanggal 3 April 1644.
Pada saat Peking diserang dan dikepung oleh golongan pemberontak dipanggilah salah satu Jendral dari Dinasti Ming yang bernama Wu Shan Kwei yang pada saat itu tengah menjalankan tugas di kota  Shan Hai Kuan. Ditengah perjalanan menuju Peking ia mendengan berita kehancuran Dinasti Ming serta kabar bahwa ayahnya ditawan oleh pemberontak. Untuk menyelamatkannya, Wu Shan Kwei menadakan perundingan perdamaian dengan kaum pemberontak yaitu Li Tzu Cheng, ia juga mengadakan perjanjian dengan bangsa Manchu untuk dimintai pertolongan.Namun Ketika Wu Shan Kwei kembali ke kota Shan Hai Kuan secara tiba-tiba pemberontak Li Tzu cheng menyerang kota tersebut, pada saat kota Shan hai Kwan terdesak datanglah pasukan berkuda dari bangsa Manchu untuk membantunya, Li Tzu Cheng terdesak untuk mundur dan mengajukan perundingan damai kepada Wu Shan kwei dengan cara menawarkan pembagian kekuasaan untuk calon penggati kaisar Ming. Namun, semua usahanya ditolak oleh Wu Shan Kwei sehingga Li Tzu cgeng memerintahkan untuk membunuh ayah Wu Shan Kwei dan segera kembali ke Peking.
            Di Peking Li Tzu Cheng menaiki tahta singgasana kekuasaan, untuk mendapatkan legitimasi dari langit ia mempersembahkan korban agar disebut sebagai “ De Son Of Heaven” . tetapi pada malam harinya istana dan sembilan pintu gerbang kota Peking dibakar habis, keesokan harinya diiringi oleh sejumlah pasukan yang setia padanya Li Tzu Cheng meninggalkan kota Peking dan menuju wilayah sebelah Barat. Tiga hari kemudian, Wu Shan Kwei memasuki kota Peking yang telah terbakar itu yang diiringi oleh penduduk bangsa Manchu. Meskipun demikian, bangsa Manchu tidak akan keluar lagi dari China[6]. Mereka menolak untuk meninggalkan Beijing dengan alasan bahwa tujuan mereka tidak merebutnya dari Dinasti Ming, melainkan mengamankannya dari pemberontak. Pada bulan Oktober 1644 mereka memindahkan ibukota mereka dari Mukden ke Beijing, sehingga secara resmi mengawali berdirinya Dinasti Qing[7]. Dikota tersebut cucu dari Nurhachi dinobatkan menjadi kaisar yang terkenal degan sebutan Kaisar Shun Chin 1644-1662).
            Wu San Kwei telah terlanjur menjadi sekutu bangsa Manchu dan ia sulit keluar dari jerat persekutuan itu.Berkat bantuan Wu San Kwei, China Utara berhasil dikuasai dan jatuh ketangan bangsa Manchu[8].
            Cina selatan melakukan perlawanan terhadap bangsa Manchu. Pada tahun 1645, mereka mengangkat Pangeran Fu sebagai Kaisar baru Nanjing[9]. Kemudian kota itu berhasil ditaklukan oleh bangsa Manchu dan kaisarnya mati tenggelam di sungan Yangtzu. Setelah itu masih ada tiga orang keturunan Kaisar yang akan melakukan perlawanan, tetapi perlawanan tersebut tidak ada koordinasi atau perlawanan dilakukan secara sendiri-sendiri dan tidak adanya persatuan diantara mereka sehingga perlawanan-perlawanan tersebut dapat ditaklukan oleh bangsa Manchu.
            Secara teknis militer, seluruh wilayah China Selatan telah ditaklukan oleh Dinasti Manchu pada 1659[10]. Ketika  Wu San Kwei diangkat menjadi menjadi raja Yunan oleh dinasti Manchu kemudian menikah dengan salah seorang putri dari Dinasti Manchu.  Keadaan tersebut semakin mempersulit posisinya yang berada digengaman orang asing,akhirnya ia membuka dan menyerahkan pintu wilayah Cina kepada bangsa Manchu, bahkan ia berusaha keras untuk menaklukan seluruh wilayah China untuk dipersembahkan kepada Dinasti Manchu. Maka oleh bangsa Cina Wu San Kwei dianggap sebagai pengkhianat negara yang menjual aset negara dan bangsa kepada bangsa Manchu, tetapi Li Tzu Ceng dianggap sebagai pahlawan yang harus dihormati.





[1] History of china. Hal : 495
[2] Sejarah dan Peradaban China, Analisis Filososfis-Historis dan sisio-antropologis. Hal 212
[3] Sejarah dan Peradaban China, Analisis Filososfis-Historis dan sisio-antropologis. Hal : 213
[4] Sejarah dan Peradaban China, Analisis Filososfis-Historis dan sisio-antropologis. Hal : 213-214
[5] Sejarah dan Peradaban China, Analisis Filososfis-Historis dan sisio-antropologis. Hal : 214.
[6] Sejarah dan Peradaban China, Analisis Filososfis-Historis dan sisio-antropologis. Hal : 216.

[7] Sejarah dan Peradaban China, Analisis Filososfis-Historis dan sisio-antropologis. Hal : 216
[8] ibid
[9] History of China. Hal: 496
[10]Sejarah dan Peradaban China, Analisis Filososfis-Historis dan sisio-antropologis. Hal : 217

0 komentar:

Posting Komentar