Masa Pemerintahan Jiajing (
1796-1820 )
Pada Masa Jiajing kekuasaan Dinasti Qing benar-benar
menghadapi persoalan yang bukan saja rumit namun juga sangat menyedihkan, hal
ini dikarenakan kelaparan terjadi dimana-mana sehingga menimbulkan
pemberontakan, penyebab utama kelaparan ini adalah kas negara yang kosong. Hal
ini menimbulkan tanda tanya besar, Dinasti Qing yang selama perkembangannya
selalu bisa menstabilkan keuangan negara dan bisa memenuhi kebutuhan rakyatnya
kini menghadapi masalah yang benar-benar pelik. Sebab utamanya adalah Korupsi
besar-besaran yang dilakukan oleh Heshan serta menguras habis kas negara.
ditambah lagi, para pemimpin panji pasukan tidak dapat lagi mempertahankan
keamanan dan ketertiban negara, karena mereka telah dilemahkan oleh kemewahan
hasil korupsi[1].
Ditengah kesulitan seperti ini Jiajing harus menghadapi
Pemberontakan dimana-mana yang juga didasari oleh rasa anti Manchu sehingga
pemberontakan semakin menjadi-jadi. Terutama dalam bentuk serikat rahasia
seperti perkumpulan Teratai putih dan Triad. Ditengah pemberontakan kala itu
Kaisar hampir menjadi korban pembunuhan oleh para pemberontak yang dibantu kaum
keberi istana, namun berhasil digagalkan oleh putra kedua kaisar.
Pemberontakan yang terus menerus ditambah lagi bencana
banjir yang melanda sungai kuning, Cina bagian timur semakin membuat kondisi kacau balau, namun
Jiajing mencoba mengatasi kekacauan itu dengan membangkitkan ajaran moralitas
Konfusianisme namun dalam situasi pelik ini hal seperti itu jelas kurang
bermanfaat, akhirnya pada 1820 Jiajing meninggal dunia karena sengatan panas
dan posisinya digantikan oleh putra keduanya yakni Aishingioro Minning.
Masa Pemerintahan
Aishingioro Minning ( 1821 – 1850 )
Daoguang adalah gelar yang diberikan kepada Minning setelah
naik tahta. Kekacauan politik yang diwarisi dari ayahnya semakin menjadi – jadi
dan begitu pula halnya dengan krisis finansial[2]. Usahanya
untuk mengatasi krisis finansial dengan tetap mengenakan pakaian- pakain lama,
menghentikan kunjungan rutin ke Istana musim panas di Jehol, serta pemotongan
gaji para pejabat, tetap saja tidak membuahkan hasil[3].
Masa ppemerintahan Minning benar-benar diambang kehancuran karena masalah yang
datang tidak hanya dari internal namun juga eksternal.
Sementara itu pemberontakan terus terjadi kini didaerah
perbatasan, belum lagi bangsa barat yang bersiap melancarkan agresinya,
puncaknya pada perang Candu ( 1840 – 1842 ) yang telah membuktikan kedigdayaan
teknologi dan kemiliteran bangsa barat, akibat kekalahan dari bangsa barat
dalam perang Candu china banyak kehilangan wilayah kekuasaannya terutama pada
tempat-tempat penting seperti pelabuhan dan Hongkong. Dengan keadaan seperti
itu semakin memperlihatkan Dinasti Qing sudah semakin merosot menuju
kehancuran.
Pada Hakikatnya Minning atau Daoguang adalah penguasa yang lemah dan tidak sanggup
menyadari realita yang ada, dalam arti Daoguang tidak mampu memobilisasi solusi
untuk keluar dari tekanan yang melanda Dinasti Qing, hal ini disebabkan oleh
ketidak cakapannya dalam mengambil kebijaksanaan sehingga Dinasti Qing dibawah
kepemimpinannya tidak bisa keluar dari persoalan pelik yamg menerjang Dinasti
Qing.
0 komentar:
Posting Komentar