Korupsi,
kata yang sangat tidak asing lagi didengar oleh masyarakat. Sebenarnya apasih
korupsi itu? Kenapa sangat sulit diberantas?. Korupsi sudah seperti penyakit kronis yang ada di Indonesia, sudah menjalar
kemana-mana. Susah? Itu pasti, tapi bukan tidak mungkin korupsi dapat
diberantas. Masalhnya adalah keseriusan dari aparat yang mengurusnya,
kontinuitas dan komitmen pada instansi yang terkait. Korupsi sendiri berasal
dari bahasa latin: (corruption dari
kata kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan,
memutarbalik, menyogok) adalah tindakan pejabat publik, baik politisi maupun
pegawai negeri, serta pihak lain yang terlibat dalam tindakan itu yang secara
tidak wajar dan tidak legal menyalhgunakan kepercayaan publik lain yang
terlibat dalam tindakan itu yang secara tidak wajar dan tidak legal menyalahgunakan
kepercayaan publik yang dikuasakan kepada mereka untuk mendapatkan keuntungan
sepihak.
Korupsi merupakan rantai kejahatan yang panjang,
akibatnya sulit untuk mencari alat bukti guna mengusut atau menuntaskan kasus
korupsi. Selain itu, Locus dilicti (tempat dan lokasi kejadian) dalam kasus
korupsi terkadang bersifat lintas negara. Apalagi, alat atau sarana kejahatan
semakin canggih. Masalah mulai
timbul saat mereka menemukan kasus yang melibatkan prang-orang atau komunitas
yang memiliki jaringan dan “power” yang kuat. Bukan hanya pandai dan cerdik,
tapi juga harus berani dan butuh cukup backup untuk menghadapinya.
Sulitnya memberantas korupsi juga disebabkan adanya
persepsi dari masyarakat Indonesia dalam memandang korupsi. Saat ini korupsi,
dipandang sebagai kebiasaan. Kasus
korupsi di Indonesia sangat sulit untuk diungkap juga karena kasus korupsi itu
terkadang melibatkan banyak pihak dan berbelit. Korupsi dilakukan,
karena adanya empat unsur, antara lain, niat untuk melakukan, kemampuan untuk
melakukan, peluang atau kesempatan dan target yang cocok.
Sudah banyak
pejabat yang tertangkap tangan oleh KPK saat menerima uang suap, beberapa sudah
menjalani pemeriksaan, sebagian lagi sedang menjalani hukuman, tetapi aneh bin
ajaib, pelaku-pelaku korupsi tetap saja beraksi.
Beberapa fakta
yang menjadi pendukung terjadinya korupsi.
1.Bagi perusahaan
memang ada dana yang namanya “success fee”, “entertaintment fee” atau apalah
istilah lain, yang di alokasikan untuk memuluskan jalannya proyek atau
menggolkan proyek perusahaan, bagi perusahaan bukan lagi masalah besarnya cost,
tetapi yang paling penting kepastian bahwa proyek dapat terlaksana. Sehingga
bagi pelaku mikirnya begini, ini bukan uang rakyat kok, ini dari perusahaan,
kita hanya menerima sedikit uang lelah atau uang terima kasih untuk suksesnya
proyek ini.
2. Prosedur
Birokrasi yang tidak jelas, tidak ada penetapan tarif. Contoh: Dalam pengajuan
Ijin Usaha Pertambangan. Biasanya pengajuan lewat Departemen Pertambangan,
kemudian ditanda-tangani oleh Bupati. Akibat tidak adanya tarif yang jelas,
bukan rahasia umum lagi, Kepala Pertambangan dan Bupati bisa bermain disini,
untuk tanda tangan satu IUP bisa mencapai 300 juta rupiah bahkan lebih,
tergantung berapa luas area dan lokasi pertambangan. Ini uang besar, justru di
birokrasi tingkat rendah contoh pembuatan SIM, KTP, penjualan tiket KA, sudah
berjalan lebih baik.
3. Pelaku
berkelompok, biasanya dalam satu departemen atau satu garis kepemimpinan semua
mendapat bagian, sehingga bersikap saling melindungi.
4.Pelaku makin
pintar. Tidak ada lagi sistem transfer, semua cash and carry, seminimal mungkin
penggunaan alat komunikasi, jika terpaksa berkomunikasi, mereka menggunakan
bahasa-bahasa rahasia.
5.Kurangnya
kesadaran moral dan spiritual, pengetahuan moral dan agama hanya sebagai ilmu,
bukan sebagai cinta pada Pencipta. Anehnya ketika sudah tertangkap, rata-rata
menjadi makin santun, dan rajin ibadah.
Oleh karena
itu, Abraham menyebutkan bahwa untuk melawan korupsi harus dengan cara yang
lebih progresif, bukan dengan cara-cara normal karena korupsi ini butuh
penanganan ekstra. “Kepolisian, kejaksaan, KPK, dan masyarakat harus bekerja
sama memerangi korupsi yang kini semakin sistematis. Tanpa dukungan masyarakat,
korupsi di Indonesia sulit diberantas”. Masih terjadinya korupsi karena
menganggap korupsi sebagai hal yang lumrah. Seperti mengurus surat di
birokrasi, masyarakat ikut menyuburkan pungutan liar. Hal ini merupakan contoh
sederhana. Praktik pungutan liar juga bagian dari korupsi. Seharusnya, korupsi
ini dijadikan kejahatan luar biasa yang tidak bisa ditoleransi.
Untuk memberantas korupsi, KPK terus mendorong kepolisian dan kejaksaan
untuk melakukan langkah-langkah yang progresif. Sebab, kedua lembaga ini
memiliki perangkat hingga kabupaten/kota. Selain itu, KPK mengintegrasikan
antara penindakan dan pencegahan. Misalnya, menindak korupsi di suatu instansi,
lalu mengusut kenapa terjadi korupsi. Kalau sistem di instansi itu salah, KPK
akan membantu agar tidak terjadi lagi korupsi.
“Kalau hanya
melakukan peningkatan tanpa pencegahan, dikhawatirkan praktik korupsi akan
berulang lagi di satu instansi. Jika ini terjadi, pemberantasan korupsi
dianggap gagal”, sebut Abraham.
Ia
mengatakan dengan mencegah praktik korupsi lebih banyak uang negara yang
diselamatkan ketimbang dengan penindakan. Dan ini sudah dibuktikan oleh KPK.
Salah satu pemikiran
sederhana untuk memberantas korupsi, sebenarnya yang banyak tahu transaksi
pemberian uang pada pejabat adalah perusahaan, tidak sedikit karyawan
perusahaan di tingkat menengah bahkan kelas OB juga bisa menangkap gerak-gerik
penyerahan dana pada aparat.
Mengapa mereka
malas melaporkan? Tidak ada manfaat sama sekali, malah menyulitkan diri
sendiri. KPK seharusnya menantang “uang dengan uang”. Caranya, buka saja line
khusus 24jam. Saksi hanya melaporkan saja dimana transaksi terjadi, KPK atau
aparat yang bertindak. Dan hasil penangkapan 50% diberikan pada saksi, 50%
masuk kas negara. Dan saksi dijamin aman, tidak perlu bersaksi di Pengadilan
buat apa, kan pelaku tertangkap tangan.
Sukses KPK.
Referensi :
0 komentar:
Posting Komentar